Islam di Nusantara : menilik corak dakwah walisongo
Sumber gambar : Pixabay |
a. Kedatangan Islam di kepulauan Indonesia
Sebelum islam masuk, masyarakat Indonesia telah
memiliki sistem kepercayaan tersendiri. Yang pertama adalah kepercayaan yang
dianut oleh nenek moyang yaitu kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme adalah
kepercayaan yang menganggap bahwa setiap benda memiliki roh. Sehingga mereka
akan melakukan ritual-ritual yang dapat mendatangkan keselamatan terhadap kedidupan
manusia. Dan Dinamisme adalah kepercayaan yang menganggap bahwa beberapa
benda tertentu memiliki kekuatan ghaib yang bisa menolong manusia dari
ancaman-ancaman. mislnya keris, cincin, batu akik, dsb.[1]
Kepercayaan orang Indonesia yang kedua adalah agama
Hindu-Budha. Dua agama ini masuk ke Indonesia melalui para pedagang dari India
dan China. Selain itu ada beberapa teori lain mengenai masuknya dua agama
tersebut. Dianataranya yaitu Teori Brahmana, Teori Waisya, Teori Ksatria, Teori
Arus balik, dan Teori Sudra.[2]
Hindu-Budha bisa masuk ke wilayah Indonesia
dikarenakan kepercayaan yang bawanya sepaham dengan kepercayaan yang dianut
oleh nenek moyangnya. Sehingga agama Hindu-Budha di Indoensia berkembang pesat.
Kerajaan-kerajaan besar Hindu-Budha pun tumbuh dan bersebaran di wilayah
Indonesia.
Dengan adanya sejarah peradaban tentang kepercayaan
inilah yang menjadikan wilayah indonesia sangatlah kuat pertahanannya. Selain
karena kepercayaan dinamismenya yang kental. Yang bahkan konon mampu
mendatangkan bala perewangan dari bangsa jin, Orang-orang Indonesia juga
memiliki persatuan yang kuat dengan adanya sistem gotong-royongnya. Walaupun
dengan segudang kebudayaannya.
Sehingga, hal ini yang melatar belakangi Islam masuk
ke wilayah Indonesia menggunakan cara yang bijaksana. Seperti yang telah
dilakukan oleh para mubaligh yang menyebarkan islam di tanah jawa yang biasa di
sebut Walisongo. Pada umumnya walisongo di kenal hanya berjumlah 9 orang saja.
Tetapi dalam buku yang berjudul Kisah perjuangan Walisongo karya MB.
Rahimsyah menyebutkan bahwa walisongo adalah dewan mubaligh yang berasal dari
beberapa negara, seperti Mesir, Turki, Maroko, Persia dll yang masih dalam
kekuasaan Islam pada saat itu, yang
mendapat tugas menyebarkan islam di wilayah Jawa. Yang mana apabila salah
seorang dari dewan terebut pergi atau meninggal dunia maka akan di ganti oleh wali
lainya. Sehingga jumlah dari walisongo bukanlah hanya 9 orang. Melainkan banyak
orang.[3]
b. Corak dakwah walisongo di Indonesia
Kehadiran walisongo bisa diterima dengan baik oleh
masyarakat. Karena walisongo menggunakan pendekatan yang khas dalam melakukan
dakwah kepada khalayak. Mereka mampu memahami secara detail kondisi
sosio—kultural masyarakat jawa. Walisongo menerapkan metode dakwah yang
akomodatif dan lentur. Kedatangan para wali di tengah-tengah masyarakat jawa
tidak dipandang sebagai sebuah ancaman. Para wali menggunakan unsur-unsur budaya
lama (Hindu-Budha) sebagai media dakwah. Dengan sabar, sedikit demi sedikit
walisongo memasukkan nilai-nilai ajaran agama Islam kedalam unsur-unsur lama
yang sudah berkembang. Metode ini biasa disebut dengan metode sinkretis.[4]
Tentunya walisongo dalam dakwahnya tidak sembarangan
untuk memodifikasi budaya-budaya kuno. Sehingga muncul kebudayaan-kebudayaan
baru yang berdampak positif bagi perkembangan Islam di Jawa. Mereka tentunya sama
sekali tidak berniat untuk merusak tatanan Islam yang telah dibawa oleh nabi
Muhammad SAW. Seperti tentang adanya tanggapan orang-orang yang berbeda aliran
yang mengkritik pada metode-metode dakwah walisongo yang dengan ke-khas-annya
mencampur adukkan islam dengan agama lain.
Metode-metode yang digunakan walisongo juga mengikuti
seperti apa yang di lakukan Rasulullah. Tentang adanya tradisi-tradisi atau
budaya kuno tidak melanggar syari’at yang dibawa oleh orang jahiliyah. Beberapa contohnya adalah[5]:
1. Tradisi puasa Asyura yang biasa dilakukan masyarkat
jahiliyah mendapatkan legalitsa kesunnahan dalam islam.
2. Tradisi akikah di masa jahiliyah diakomodir menjadi
kesunnahan dalam islam, kecuali kebiasaan melumuri kepala bayi dengan darah
hewan akikah yang kemudian diganti dengan mengolesianya dengan minyak wangi.
3. Ritual-ritual haji. Seperti tawaf yang sudah menjadi
tradisi kaum jahiliyah dalam islam ditetapkan sebagai salah satu ritual haji,
namun dengan mengganti kebiasaan telanjang didalamnya dengan pakaian ihram.
Adapun pendekatan walisongo dalam memasukkan nilai
islam kedalam tradisi kuno juga memfilter antara budaya yang cocok atau tidak cocok
dengan islam. Jadi dalam berdakwah melalui tradisi atau budaya, di gunakanlah
empat pendekatan yaitu[6] :
1. Adaptasi , dilakukan
untuk menyikapi tradisi yang secara prinsip tidak bertetangan dengan syari’at.
Bahkan hal ini merupakan implementasi dari akhlak al-karimah yang di anjurkan
oleh Nabi. Seperti tradisi bahasa kromo inggil dan kromo alus dalam masyarakat Jawa untuk sopan santun
berbicara terhadap orang yang lebih tua.
2. Netralisasi, dilakukan untuk menyikapi tradisi atau budaya yang didalamnya tercampur
antara hal-hal yang diharamkan yang dapat dihilangkan dan hal-hal yang
dibolehkan. Seprti contohnya kirim do’a untuk mayit atau Tahlilan yang dilakukan
7 hari berturut-turut setelah meninggalnya seseorang.
3. Minimalisasi, dilakuna untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang belum
bisa dihilangkan seketika. Cara ini dilakukan dengan mengurangi sedikit demi
sedikit tingkat kemadharatannya secara bertahap sampai hilang atau minimal
berkurang. Pendekatan ini juga di pakai oleh seorang ulama’ yang pernah menjadi
ketua MUI yang juga pencetus fikih sosial, K.H. Sahal Mahfudz. Beliau yang
mendirikan Bank Artahuada Abadi dengan tujuan meminimalisasi risiko keharaman
adanya riba bunga bank. Dan tentunya untuk generasi selanjutnya, hal ini juga
harus ditingkatkan lagi kedepannya secara bertingkat untuk meminimalisasi
risiko riba bunga bank.
4. Eliminasi, dilakukan untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang harus
dihilangkan. Amputasi terhadap budaya semacam ini dilakukan dengan
menghilangkan hingga ke akarnya, meskipun dilakukan secara bertahap. seperti
terhadap keyakinan animisme dan dinamisme. sebagaimana Nabi Muhammad SAW menyikapi
keyakinan paganisme di masyarakat Arab dengan menghancurkan fisik
berhala-berhala, berikut berhala keyakinan, pemikiran, dan kebudayaannya.
Tradisi itu berhsil dihilangkan, namun baru terlaksana secara massif pada peristiwa
pembebasan kota Makkah (fathul makkah) pada saat dakwah Islam berusia 21
tahun.
[1] Ali sa’id. at all. Modul
SKI kelas XI. (Jepara: LP Ma’arif). 2014. hlm 4
[2]
https://blog.ruangguru.com/proses-masuknya-agama-hindu-buddha-ke-nusantara?hs_amp=true
di
akses pada 8 Juli 2019 pukul 19.00 WIB
[3] Rahimsyah. Kisah
perjuangan Walisongo. (Surabaya: Dua Media) hlm 5-7
[4] M. khamzah. Sejarah
kebudayaan Islam kelas 12. (Penerbit Akik Pustaka) hlm 40
[5] Tim PW LBM
NU Jawa timur. Islam Nusantara Manhaj Dakwah Islam Aswaja di Nusantara. (Jawa
Timur: PW LT NU dan Universitas Negri Malang). 2018. Hlm 31-34
[6] Tim PW LBM
NU Jawa timur. Islam . . . , Hlm 35-41
Posting Komentar untuk "Islam di Nusantara : menilik corak dakwah walisongo"
Posting Komentar