Tulisan Kontemplatif: Antara Desa, Kota, dan Jiwaku

Oleh : Wawan Khoirul Anam

Tulisan kontemplatif ini tidak bermaksud menjustifikasi perihal lebih baik mana antara pedesaan atau perkotaan, karena keduanya tentu memiliki kelebihan dan kekuranganya masing-masing. Namun, melalui tulisan ini saya hanya ingin mengulas secara subjektif mengapa saya begitu mengagumi ekosistem pedesaan dibanding ekosistem perkotaan.


Pedesaan adalah rumah bagi kelangsungan hidup tumbuhan, hewan, dan manusia. Persawahan yang memanjang, gunung yang menjulang, ombak laut yang menggulung, hutan yang rimbun, sungai yang mengalir adalah realita yang harus disikapi secara bijaksana. Sedangkan, perkotaan adalah rumah bagi gedung-gedung bertingkat, jalan beraspal, mobil mewah, dan gemerlap kemajuan yang begitu memukau. Mobilitas yang begitu tinggi, persaingan yang begitu ketat, tata kelola kota yang begitu padat adalah realita yang harus disikapi secara bijaksana pula.


Dalam tulisan ini, saya akan mengajak anda untuk melihat perbedaan desa dan kota dalam segi kadar oksigen, polusi udara, polusi suara, pemanasan global.


Pertama, dalam segi kadar oksigen. Keberadaan pepohonan atau tumbuhan di desa terbilang masih sangat terjaga. Sedangkan keberadaan tumbuhan dan pepohonan di kota kini sudah jarang kita jumpai. Secara teoritis, tumbuhan itu menyerap karbondioksida yang dikeluarkan oleh manusia, dan sebaiknya tumbuhan juga mengeluarkan oksigen yang bisa dihirup oleh manusia. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak tumbuhan yang ada disekitar kita maka semakin banyak pula kedar oksigen yang kita bisa hirup. Sebagai contoh, ketika kita berada di bawah pohon yang rindang, maka akan kadar oksigen di sekitar pohon yang bisa kita hirup itu relatif banyak, sehingga kita akan merasa sejuk dan damai. Sebaliknya, apabila kita duduk di halaman rumah yang tidak ada tumbuhan atau pepohonan disekitarnya maka kadar oksigen di tempat itu relatif sedikit, sehingga kita akan merasa panas dan sesak.


Kedua, berkaitan dengan polusi udara. Di desa cenderung jarang terjadi polusi udara, hal ini karena mobilitas masyarakat desa masih minim. Kendaraan roda dua, kendaraan roda empat, pabrik, ataupun tempat tempat yang berpotensi menghasilkan limbah udara masih relatif sedikit. Sebaliknya, persaingan ekonomi dan mobilitas masyarakat kota yang tinggi menjadikan banyak sekali limbah limbah udara dari moda transportasi dan pabrik pabrik besar. Hal ini tentu akan menimbulkan banyak polusi udara di perkotaan.


Ketiga, terkait dengan polusi suara. Polusi suara di desa cenderung sedikit, karena minimnya mobilitas masyarakat. Sedangkan, polusi suara di kota cenderung tinggi, karena tingginya pula mobilitas masyarakat perkotaan.


Keempat, dalam segi pemanasan global. Di desa, pemanasan global terbilang minim. Karena belum banyak rumah kaca atau penggunaan AC ataupun alat elektronik. Sedangkan di kota pemanasan global tidak bisa terhindarkan lagi, banyaknya efek rumah kaca, pabrik pabrik dengan mesin mesin elektronik, penggunaan AC dan lain lain menjadikan tingkat pemanasan global di kota sangatlah tinggi. Hal inilah yang menjadikan udara di kota terasa sangat panas.


Terakhir, dalam hal kadar oksigen, polusi udara, polusi suara, dan pemanasan global tentu desa dirasa lebih baik dibandingkan kota. Namun saya juga tidak menutup mata, jika dalam hal lain kota juga lebih baik daripada desa. Apapun itu, saya sebagai seorang yang berjiwa kontemplatif tentu cenderung lebih menyukai suasana pedesaan yang sejuk nan damai. Karena di tempat seperti inilah, saya menemukan diri saya yang sebenarnya. Membaur dengan alam, menyelaraskan hidup dengan semesta, dan bersyukur atas apa yang telah ditetapkan-Nya adalah sebuah anugerah yang luar biasa. Alhamdulillah.

Ranting Tulakan V
Ranting Tulakan V Belajar, berjuang, serta bertaqwa.

Posting Komentar untuk "Tulisan Kontemplatif: Antara Desa, Kota, dan Jiwaku"