Berdakwah Lewat Tradisi Juga Melalui Filter
Daftar Isi
Didokumentasi oleh Diki Wahyudi |
Tradisi atau budaya setempat yang sudah di jalani bertahun-tahun oleh penduduk, jika sekaligus langsung di hapus, di tentang dan di haramkan tanpa kenal rasa toleran oleh walisongo, tentu tidak akan ada suatu hasil. Karena pada saat itu, penduduk sudah merasa nyaman, dan kondisi soisialnya sudah cukup baik.
Berbeda jika Walisongo –seperti yang kita ketahui– melakukan dakwah secara toleran terhadap agama lain, tidak kaku dan tidak radikal maka hasilnya seperti yang sekarang. Islam telah berkembang pesat di Jawa dengan penuh kearifan lokalnya. Karena hasil dari karya walisongo menggabungkan tradsi dan dakwahnya.
Uniknya tradisi-tradisi kuno yang di kemas ulang oleh Walisongo, yang menjadi bernuansa Islami itu memiliki peran double. Seperti dalam artikel di NU online yang menjelaskan gambaran tentang metode dakwah walisongo yang menarik sekaligus menghasilkan pahala (baca disini). Bukan seperti sekarang, yang berdakwah tapi malah justru membuat pahala berkurang, dengan mengharamkan ini, itu. Kafirkan sini, situ. Dst.
Kembali lagi kepada metode dakwah walisongo.
Didalam buku “Islam Nusantara Manhaj Dakwah Islam Aswaja di Nusantara” yang disusun oleh Tim Pimpinan Wilayah Lembaga Bahtsul Masa’il NU Jawa timur menjelaskan tentang adanya pendekatan-pendekatan terhadap tradisi –seperti walisongo– yang tetap mempertahankan suatu tradisi kuno, dan menjadikannya suatu media untuk berdakwah.
Jadi, didalam mengemas suatu tradisi tentunya tidak sembarangan. Tradisi tersebut harus di seleksi sesuai dengan kebutuhan zaman. Dan tentunya harus sesuai dengan nafas Islam.
Ada yang harus di hilangkan secara maksimal, karena keharamannya atau dinamakan Eliminasi.
Atau menggunakan cara meNetralisasi. Contohnya Seperti miting dino, wayang kulit, dll, yang sebenarnya adalah milik orang Hindu yang di Islamisasi.
Atau bahkan Islam harus Adaptasi dengan budaya setempat, karena itu baik dan bahkan senada dengan Islam Contoh : memakai Boso Kromo kepada orang yang lebih tua, yang mana hal itu senada dengan Islam yang memerintahkan untuk memiliki budi pekerti yang baik.
Jadi, tentunya tidak sepenuhnya tradisi setempat bisa diterima dengan tangan terbuka tanpa ada filter di dalamnya. Harus melalui penyaringan yang baik untuk dapat menjadi suatu budaya yang lebih baik pula.
Penasaran, dan ingin Lebih jelas lagi, baca sendiri di buku “Islam Nusantara, Manhaj Dakwah Islam Aswaja di Nusantara” yang telah tersusun rapi oleh Tim Pimpinan Wilayah Lembaga Bahtsul Masa’il NU Jawa timur.
Semoga bermanfaat…